Thursday, May 3, 2012

Krisis Teladan: Berkaca pada Jokowi dan Dahlan Iskan


Saat ini ada dua sosok yang tengah diperbincangkan di tengah-tengah masyarakat. Wajahnya menghiasi halaman media baik cetak maupun elektronik. Kedua sosok ini digadang-gadang menjadi pemimpin. Yang satu dalam sekup nasional, satunya lagi lingkup regional. Mereka adalah Dahlan Iskan yang kini menjabat sebagai menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) satunya lagi Joko Widodo, walikota Solo.
Di dunia maya, nama Dahlan Iskan dan Joko Widodo atau disingkat Jokowi menjadi topik ramai didiskusikan. Salah satunya, di situs www.kompasiana.com. Mengetik Dahlan Iskan di mesin pencari situs tersebut, maka akan muncul 5.350 atau ulasan tentang mantan bos Jawa Pos itu. Begitu juga dengan Jokowi. Sebagian besar tema yang ditulis adalah kekaguman mereka terhadap kedua sosok itu.
Bahkan Dahlan Iskan diwacanakan menjadi ketua Umum Partai Demokrat, sebagai pengganti Anas Urbaningrum seandainya Anas yang kini menjadi ketua umum menjadi tersangka dalam kasusnya wisma atlet (Detik Sore, 6/2/12). Padahal dia bukan anggota partai politik berlambang bintang merci. Tak hanya itu, nama Dahlan Iskan juga sudah disebut-sebut sebagai calon presiden. Empat partai politik besar seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS dan PAN tengah menyebut-nyebut sebagai calon presiden (www.pikiran-rakyat.com, 30/12/11 ).
Hal serupa juga Jokowi. Penyuka musik cadas ini sangat dicintai masyarakatnya. Saking fanatiknya, ketika ada wacana akan dicalonkan menjadi gubernur DKI Jakarta, ada warga Solo menggelar aksi agar Jokowi tetap di Solo (Warta Jateng, 12/12/11). Dalam pemilihan kepala daerah yang kedua kalinya, Jokowi meraih suara mayoritas atau 90 persen dibanding pesaing-pesaing politiknya.
Lalu mengapa mereka ini begitu diharapkan dan dikagumi oleh masyarakatnya? Pada kedua sosok ini memiliki kesamaan. Menjadi panutan atau tauladan ditengah glamor dan hedonisnya sikap dan gaya hidup para pejabat pemerintah baik yang duduk di eksekutif maupun legislatif dari pusat hingga daerah.
Bayangkan saja, belum lama ini publik dikejutkan dengan harga kursi mewah untuk anggota legislatif. Setiap unit harganya sangat fantastis, Rp 24 juta. Begitu juga dengan perbaikan toilet saja yang menelan Rp 2 miliar. Yang lebih fantastis lagi, rencana pembangunan gedung baru yang berfasilitas hotel berbintang lima seperti spa, kolam renang dan kemewahan lainnya yang menelan biaya Rp 1,138 triliun (www.media-indonesia.com, 4/1/12). Namun akhirnya rencana tersebut batal atas derasnya desakan publik.
Belum lagi, memiliki mental memamerkan kekayaan pribadi. Salah seorang yang baru menjabat namun sudah memiliki kekayaan yang melimpah, kendaraan mewah. Yang lebih parahnya lagi adalah sikap korup. Tak sedikit uang rakyat yang digaruk oleh mereka. Kasus wisma atlet adalah satu satu kasus korupsi dari kasus-kasus korupsi lain di negeri ini. Sejumlah politisi dan pejabat pemerintah baik yang ada di pusat maupun di daerah harus berujung di balik jeruji besi karena tersandung kasus korupsi.
Ada pun sosok Dahlan Iskan dan Jokowi memilih kesederhanaan dan memberikan tauladan. Meski keduanya merupakan sama-sama pejabat publik dan kaya. Betapa tidak, berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggaraan negara (LHPN) di Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana ditulis dalam kompas.com (17/10/11) menyebutkan bahwa Dahlan Iskan memiliki harta lebih dari Rp 48 miliar. Harta kekayaannya jauh melebihi kekayaan Presiden SBY yang hanya Rp 7 miliar berdasarkan LHPN tahun 2010. Sedangkan harta kekayaan Joko Widodo berdasarkan laporan LHPN tahun 2010 Rp 17,46 miliar (Tabloid Politic, edisi kelima).
Kesederhanaan itu dilakukan dalam menjalankan amanah yang kini sedang diembannya. Dahlan Iskan naik kereta api kelas ekonomi saat hendak menghadiri rapat bersama SBY di Bogor. Ia juga naik ojek serta sebelumnya makan soto bareng. Dahlan Iskan pernah menyebut bahwa aksi tersebut dilakukan bukan untuk sok sederhana (Dahlan Iskan, 2011), namun dengan begitu mendapatkan sambutan dari masyarakat.
Saat menjabat sebagai Dirut PLN, ia juga menolak rumah dinas. Dia lebih memilih membeli rumah sendiri di Jakarta dengan biaya sendiri demi kelancaran dalam menjalankan tugasnya. Setiap hari, berangkat ke kantornya dengan berjalan kaki.
Kesederhanaan juga ditampilkan oleh Jokowi. Dia lebih memilih menggunakan mobil dinas bekas wali kota sebelumnya daripada harus mengganti mobil baru. Saat diganti pun, pengusaha mebel dan taman itu lebih memilih mobil Kiat Esemka, buatan dalam negeri yang harganya hanya Rp 94 juta. Dia juga telah berhasil mempopulerkan atau mengkampanyekan produk dalam negeri ditengah gempuran mobil-mobil mewah buatan impor yang harganya mencapai ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Jokowi juga tidak mengambil gajinya selama ia menjabat sebagai wali kota.
Sebetulnya, keteladan dan kesederhanaan bukan kata yang baru di negeri ini. Kata tersebut sering didengar baik dalam pengajian, di pelajaran sekolah maupun dalam acara-acara seminar maupun ceramah-ceramah umum. Namun sayang, kata tersebut oleh hanya sekedar angin lalu.
Di sekolah, diajarkan dengan semboyan Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan nasional, memberikan tiga falasfah pendidikan. Salah satunya adalah ing ngarsa sung tulada yang artinya di depan, seorang pemimpin harus memberikan contoh atau teladan.
Dalam ajaran agama, khususnya Islam, Rasulullah memberikan tauladan kepada umatnya. Dalam surat Al Ahzab ayat 21 yang berbunyi,” Sungguh pada diri Rasulullah itu, kamu dapatkan sauri teladan bagi orang-orang yang mengharapkan ridha Allah, hari kemudian dan bagi yang mengingatnya.” Kunci utama keteladanan rasulullah adalah, beliau menyuruh kepada orang lain, beliau telah memberikan contoh terlebih dahulu.
www.kompasiana.com

LOGO SMA Labschool Unsyiah

Logo-SMA-Labschool-Unsyiah .png



silahkan di copas, bagi Siswa Labschool yang ingin menambah Logo SMA Labschool Unsyiah Di cover Makalahnya.
do the Best ! for Labschool Unsyiah ..

Pasir Dan Mutiara


Ada seorang anak muda yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di sebuah perguruan tinggi. Tanpa pengalaman, berbekal ijazah dan impian yang besar, dia mulai menapakkan langkah, mencoba terjun ke masyarakat dengan mencari pekerjaan. Dia mengirim banyak surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan. Sayang, harapannya tak sesuai kenyataan. Penolakan demi penolakan justru diterimanya. Tapi, saat diterima pun, ternyata pekerjaan yang didapat tidak sesuai dengan kemampuan dan kemauannya.

Saat dia pindah ke perusahaan lain, dan kemudian berpindah lagi, keadaan pun tidak jauh berbeda. Kekecewaannya berulang lagi. Ia merasa kecewa pada perusahaan, kecewa pada diri sendiri, dan kecewa pada penerimaan orang lain terhadap dirinya yang tidak sesuai dengan harapannya. Semua itu menyebabkan dia semakin hari merasa semakin stres, dan akhirnya berniat mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri.Untuk mewujudkan niatnya, dia memilih lautan sebagai tempat untuk bunuh diri. Setibanya di tepi laut yang berombak besar, segera niatnya dilaksanakan. Dia pun berlari mengejar ombak dan melemparkan dirinya ke dalam gelombang air pasang yang siap menelan tubuhnya. Tetapi usahanya gagal! Beberapa kali ia mencoba, juga gagal lagi.
Saat itu, ada pria setengah baya yang kebetulan melihat ulah si pemuda dan segera menghampirinya. Orang itu lantas bertanya kepadanya, "Hei anak muda, kenapa engkau mau mengakhiri hidupmu dengan jalan pintas seperti ini?"
Dengan muka sedih dan kepala tertunduk, si pemuda menjawab, "Hidupku sungguh tidak berarti. Aku gagal! Aku kecewa pada perusahaan tempatku bekerja. Aku kecewa pada diriku sendiri. Aku juga kecewa pada masyarakat yang meremehkan dan memandang rendah diriku. Untuk apa lagi aku hidup seperti ini?"
"Anak muda, caramu berpikir itu salah! Pantas kamu mengambil jalan pintas seperti ini. Lihatlah ini," bapak itu berkata sambil tangannya mengambil sejumput pasir dan kemudian melemparkan ke depan. Pasir itu pun segera terserak bersama pasir yang lain. Setelah itu, dia berkata, "Pungutlah pasir yang saya lempar tadi."
"Ah, mana mungkinpasir itubisa saya pungut lagi," jawab si pemuda keheranan, tak tahu apa maksud bapak itu menyuruhnya seperti itu.
Melihat pemuda itu tampak tak mengerti maksud perintahnya, bapak itu kemudian ganti mengambil suatu benda dari kantong sakunya dan berkata, "Sekarang, pungutlah mutiara ini." Paman itu lantas melemparkannya mutiara dari kantongnya, sama seperti pasir tadi. Dengan segera dipungutlah mutiara itu oleh si pemuda. Mudah sekali!
 
"Nah anak muda, dirimu saat ini, sama seperti butir pasir di pantai, tidak berbeda dengan pasir-pasir yang lainnya. Kalau kamu ingin diakui keberadaanmu dan memperoleh perhargaan dari orang lain, maka jadilah seperti mutiara ini. Tetapi, untuk bisa menjadi mutiara, perlu waktu dan perjuangan yang tidak ringan. Maka, berhentilah mengeluh dan menyalahkan orang lain. Belajar dan poleslah diri dengan sungguh-sungguh dan jadilah mutiara di kemudian hari."
Si pemuda spontan menjabat erat tangan bapak itu, "Terima kasih Pak, saya memang salah. Sekarang saya sadar dan mengerti. Saya berjanji akan berubah dan memoles diri dengan keras untuk menjadi mutiara sejati." Maka, si pemuda segera bergegas, ingin memulai harinya yang baru dengan semangat untuk jadi mutiara yang berharga.
Pembaca yang bijaksana,
Saat kita sadar dan mengerti bahwa meraih kesuksesan itu membutuhkan proses dan perjuangan, maka mentalitas kita akan semakin kuat. Dengan keberanian, ketekunan, dan keuletan, kita siap menghadapi setiap rintangan yang muncul, untuk meraih kesuksesan dan kehidupan yang jauh lebih bernilai.
Mutiara yang indah lahir dari proses alam yang cukup lama. Demikian juga diri kita. Untuk menjadi orang yang dihargai, disegani, dan dihormati, juga perlu pengorbanan dan proses yang berliku dan memakan waktu lama. Tapi, dengan satu tujuan yang pasti, kerja keras, tekad baja, kita akan benar-benar menjadi mutiara yang berharga bagi diri sendiri dan orang lain.
Tidak ada sukses tanpa perjuangan. Tidak ada keberhasilan tanpa diiringi peluh keringat dan kerja keras. Maju terus dan poles diri dengan semangat pantang menyerah! Raih kesuksesan dengan langkah pasti!
Salam sukses luar biasa!!
_______________________
www.andriewongso.com

Joko Wi - Sosok Kecil dengan Ide Besar


Wali Kota Solo ini sedang jadi bintang hari-hari belakangan ini. Keputusannya menggunakan mobil buatan anak SMK (Kiat Esemka) untuk tugas sehari-hari menggegerkan negeri ini. Namun seperti apa sosok sebenarnya seorang Joko Widodo itu?Tumbuh dari keluarga miskin yang tinggal di daerah bantaran kali yang kumuh, membuatnya tumbuh menjadi seorang pemimpin yang peka terhadap penderitaan dan berbagai problematika masyarakat miskin. Terlebih ketika spirit itu berpadu dengan pengalamannya selama 23 tahun bergelut di bidang ekspor, maka lahirlah berbagai kebijakan populis yang tak hanya membela dan melindungi kepentingan masyarakat bawah, tetapi juga berhasil menggeser paradigma jajaran pemerintahan kota yang dipimpinnya secara revolusioner.
Anak pertama dari empat bersaudara yang lahir dari pasangan Noto Mihardjo dan Sujiatmi ini, sekolah SD sampai SMA di kota Solo. Kemudian melanjutkan kuliah bidang teknologi kayu di UGM, Yogyakarta. Setelah lulus kuliah ia sempat bekerja di Aceh selama 2 tahun, sebelum akhirnya mulai merintis usaha di kota kelahirannya. "Saya memulai usaha dari minus, bukan dari nol. Pelan-pelan merintis. Ya sekarang masih kecil, tapi paling tidak produksi yang kami hasilkan sudah diekspor," kisahnya.
 
Semula ia mengaku tak berniat mencalonkan diri menjadi wali kota. Perhatiannya selama ini hanya tersita untuk urusan usaha yang telah dirintisnya. Sampai suatu ketika, ia merasa prihatin atas perkembangan dan pembangunan kota kelahirannya yang dirasa berhenti di tempat. "Saya melihat kok tidak semakin baik, tapi malah semakin turun dan semakin tidak baik. Sehingga saya merasa tergelitik, saya pikir mengelola kota itu apa sulitnya, sih?"
Pemikiran sederhana itulah yang membuat Joko Wi merasa tertantang. "Tapi saya juga tidak serius-serius amat, karena saya juga merasa tidak terkenal. Jadi boleh dibilang, menjadi wali kota ini bagi saya seperti sebuah kecelakaan," kelakarnya.
 
Tapi ketika akhirnya ia betul-betul terpilih menjadi orang nomor satu di jajaran pemerintahan kota Solo, maka Joko Wi segera "mendiagnosa" berbagai penyakit yang membonsai pertumbuhan kotanya. Lalu apa yang ia temukan? "Saya kira masalah yang pertama adalah tak adanya leadership. Dan yang kedua adalah problem di sistem manajemennya. Karena ketika saya hidup di ekspor selama 23 tahun, ada tiga hal yang ‘tidak boleh tidak' harus dipenuhi; Yaitu, yang pertama masalah Quality [kualitas]. Kedua, masalah Price [harga]. Artinya kita harus selalu efisien, sehingga harga kita bisa kompetitif. Dan yang ketiga, adalah masalah On time delivery [ketepatan waktu pengiriman]. Ketiga hal ini saya kira sangat bepengaruh sekali dalam pengelolaan kepemerintahan dan pengelolaan sebuah kota, khususnya mempengaruhi kebijakan atau policy yang saya ambil," paparnya. Sungguh luar biasa!
____________
Artikel ini diambil dari majalah LuarBiasa edisi Desember 2011: Big Idea Big Success. Dapatkan tulisan lengkapnya di edisi tersebut. Majalah motivasi ini bisa diperoleh di toko-toko buku terdekat di kota Anda. Untuk pemesanan: (021) 33445555, free ongkos kirim untuk Jakarta. Info: www.majalahluarbiasa.com

Maksimalkan Kelebihan untuk Menjadi Nomor Satu


Dalam diri setiap orang, pasti ada kelebihan yang bisa dimaksimalkan. Namun, semua kembali pada diri masing-masing untuk bisa memaksimalkan kelebihan itu atau tidak. Kisah Houtman Zainal Arifin menjadi bukti nyata, bahwa karier seseorang bisa diubah!Ada satu kisah yang sangat inspiratif yang sudah banyak tersebar di berbagai media. Kisah tersebut adalah kisah nyata dari seorang bernama Houtman Zainal Arifin. Beliau adalah seorang mantan pedagang asongan, anak jalanan, Office Boy (OB), yang dengan tekad kuat, akhirnya berhasil menjadi orang nomor satu di Citibank Indonesia*.
Sekitar tahun 60-an Houtman memulai kariernya sebagai perantau, berangkat dari desa ke jalanan Ibukota. Di Jakarta Houtman harus menerima kenyataan bahwa kehidupan di Jakarta ternyata sangat keras dan tidak mudah. Dengan bekal hanya gelar lulusan SMA, pekerjaan tidak mudah diperoleh. Houtman pun memilih bertahan hidup dengan profesi sebagai pedagang asongan, dari jalan raya ke kolong jembatan kemudian ke lampu merah menjajakan dagangannya.
Tetapi kondisi seperti ini tidak membuat Houtman kehilangan cita-cita dan impian. Suatu ketika Houtman beristirahat di sebuah kolong jembatan, dia memperhatikan kendaran-kendaraan mewah yang berseliweran di jalan Jakarta. Para penumpang mobil tersebut berpakaian rapi, keren, dan berdasi. Houtman pun ingin seperti mereka.
Houtman lantas melamar kerja di gedung-gedung pencakar langit di Jakarta. Sampai suatu saat, ia mendapat panggilan kerja dari sebuah perusahaan yang sangat terkenal dan terkemuka di Dunia, The First National City Bank (Citibank), sebuah bank bonafid dari Amerika Serikat. Houtman pun diterima bekerja sebagai seorang OB. Sebuah jabatan paling dasar, paling bawah dalam sebuah hierarki organisasi dengan tugas utama membersihkan ruangan kantor, WC, ruang kerja dan ruangan lainnya. Saat itulah, Houtman mulai menancapkan "impian" yang nyaris tak mungkin. Tapi, ia telah bertekad kuat, untuk mengubah nasib. Dan, inilah yang dilakukannya...
•Tidak ragu untuk belajar hal baru
Sebagai OB, Houtman selalu mengerjakan tugas dan pekerjaannya dengan baik. Terkadang dia rela membantu para staf dengan sukarela. Selepas sore saat seluruh pekerjaan telah usai, Houtman berusaha menambah pengetahuan dengan bertanya-tanya kepada para pegawai. Dia bertanya mengenai istilah istilah bank yang rumit, walaupun terkadang saat bertanya dia menjadi bahan tertawaan atau sang staf mengernyitkan dahinya.
•Tidak banyak perhitungan
Hampir semua pekerjaan-termasuk yang bukan tugas aslinya-dilakukan dengan senang hati dan sukarela. "Hadiah" yang didapat adalah ia mendapat ilmu baru dari staf yang dibantunya. Houtman sedikit demi sedikit familiar dengan dengan istilah bank seperti Letter of Credit, Bank Garansi, Transfer, Kliring, dll.
•Buktikan prestasi pada diri sendiri, bukan orang lain
Tidak sekali dua kali ia dilecehkan dengan kesukaannya bertanya tentang banyak hal baru yang tak dimengertinya. Bahkan sesama OB sering menyindirnya dengan kata-kata: "Kalau masuk dari OB, ya keluar nanti tetap jadi OB." Namun, ia terus bertekad untuk mau belajar dan memperbaiki nasib. Houtman berpikir, ia sendirilah yang bisa mengubah nasibnya. Maka, ia bekerja keras untuk meraih yang terbaik pada profesi apa pun yang dijalankan.
•Beranilah untuk belajar dan bertanya
Suatu saat Houtman tertegun dengan sebuah mesin yang dapat menduplikasi dokumen (saat ini dikenal dengan mesinphoto copy). Ketika itu mesin foto kopi sangat langka. Setiap selesai pekerjaan setelah jam 4 sore Houtman sering mengunjungi mesin tersebut dan minta kepada petugas foto kopi untuk mengajarinya. Pada suatu hari, petugas mesin foto kopi itu berhalangan dan praktis hanya Houtman yang bisa menggantikannya. Sejak saat itu, Houtman resmi naik jabatan dari OB sebagai "Tukang Foto Kopi".
•Bekerja bukan untuk mengejar gaji
Sebagai tukang foto kopi, ia punya akses untuk melihat dan mempelajari banyak dokumen. Hingga, akhirnya, ia menawarkan bantuannya secara sukarela untuk membantu membubuhkan stempel pada Cek, Bilyet Giro dan dokumen lainnya pada kolom tertentu. Stempel tersebut harus berada di dalam kolom tidak boleh menyimpang atau keluar kolom. Alhasil Houtman membutuhkan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut karena dia sangat berhati-hati sekali. Selama mengerjakan tugas tersebut Houtman tidak sekedar mengecap, tapi dia membaca dan mempelajari dokumen yang ada. Akibatnya Houtman sedikit demi sedikit memahami berbagai istilah dan teknis perbankan.
•Bekerja dengan sepenuh hati
Houtman cepat menguasai berbagai pekerjaan yang diberikan dan selalu mengerjakan seluruh tugasnya dengan baik. Dia pun ringan tangan untuk membantu orang lain, para staff dan atasannya. Sehingga para staff pun tidak segan untuk membagi ilmu kepadanya. Sampai suatu saat pejabat di Citibank mengangkatnya menjadi pegawai bank karena prestasi dan kompetensi yang dimilikinya. Dan, sejak saat itulah, pelan tapi pasti, ia terus belajar dan bekerja keras dengan sepenuh hati hingga ia berhasil menorehkan sejarah menjadi orang nomor satu di Citibank Indonesia, meski hanya lulusan SMA.
Inilah gambaran nyata, betapa kualitas dalam diri seseoranglah yang mampu mengubah nasib dan karier. Mari, maksimalkan kualitas diri dengan bekerja maksimal dan mau selalu belajar, maka kita bisa jadi "nomor satu" di mana pun kita berada. 
________
Catatan: Tulisan ini, dan sumber-sumbernya, berdasarkan pada periode Agustus-September 2011.


Bagikan ke teman Anda, Share & Be Happy!

Buah Kerja Keras Tukang Cuci Piring di AS



Sekitar 6 tahun lalu, tepatnya tahun 2005, pria bernama Rudi Suparto ini terbang ke Amerika Serikat demi mencari uang lebih. Namun ternyata, mantan sales manager ini tak bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik selain tukang cuci piring di sebuah restoran.
Awal kehidupannya di Amerika Serikat terbilang tidak mudah bagi pria kelahiran Surabaya, Jawa Timur ini. Betapa tidak, ia sebenarnya tidak bisa berbahasa Inggris. Alhasil, hanya tukang cuci piringlah yang bisa dijadikan nafkah penghidupannya di tahun-tahun pertama di negeri Paman Sam ini. "Sedih sekali sebenarnya waktu itu. Saya tidak biasanya memegang sampah dan kotoran makanan," kisah Rudi.
Luar biasanya, kondisi menyedihkan ini tidak membuat Rudi pantang menyerah. Justru ia menjadikan keadaannya itu sebagai bahan pelajaran sehingga pada akhirnya ia mengetahui cara memasak dan seluk beluk restoran.
Ketekunan dan kegigihannya selama beberapa tahun tersebut akhirnya menghasilkan sebuah restoran cepat saji miliknya sendiri, yang diberi nama Wok Express. Restoran ini terletak di jalan utama kompleks kasino, Las Vegas, Amerika Serikat.
Ibarat kacang yang tak lupa akan kulitnya, Rudi pun ikut membantu sesama imigran asal Indonesia. Seluruh karyawannya adalah orang Indonesia, dan hanya juru masaknya saja yang warga China.
Meski sudah memiliki kehidupan mapan di Amerika, Rudi tetap berencana untuk menghabiskan masa tuanya di Indonesia. Karena itu, ia selalu berusaha berbahasa Indonesia dengan anak-anaknya supaya bahasa ibu mereka tidak hilang.
Pencapaian Rudi Suparto ini membuktikan bahwa setiap peluh kerja keras di bidang apa pun bila ditekuni dengan niat baik dapat berbuahkan kesuksesan yang manis. Selain itu, apa yang dilakukan Rudi juga patut dicontoh. Sejauh apa pun kita melalang buana dan apalagi menuai keberhasilan di negeri orang, layaknya kita tidak melupakan kampung halaman. Luar Biasa!
(Sumber foto: indonesiaproud.wordpress.com)



Bagikan ke teman Anda, Share & Be Happy!
www.andriewongso.com

Bola Korban TSUNAMI dikembalikan ke Jepang


Sebaiknya beri nama yang jelas jika memiliki benda berharga bahkan jika itu sebuah bola sepak. Misaki Murakami, 16 tahun, contohnya. Bola yang hanyut terbawa tsunami setahun lalu tiba-tiba dikabarkan ditemukan di Alaska.Murakami, mendapatkan bola itu dari teman-teman sekelasnya ketika ia pindah sekolah tahun 2005. Teman-temannya memberikannya dengan menuliskan nama Murakami dan sejumlah pesan menggunakan spidol tertera di permukaan bola. Namun kala tsunami menerjang Jepang 11 Maret 2011 lalu, pemuda itu kehilangan segalanya, termasuk bolanya.
Setahun kemudian, seorang teknisi radar yang sedang menyusuri pantai di pulau Middleton, Alaska, bernama David Baxter, menemukan bola itu. Di teluk di sepanjang garis pantai pulau tersebut memang banyak sampah yang diperkirakan sampah tsunami kiriman dari Jepang. David tertarik pada sebuah bola yang ia yakini berasal dari Jepang. Apalagi ada tulisan tangan dalam huruf kanji Jepang.
Kebetulan ia beristri orang Jepang, Yumi. Saat Yumi membacanya, ia menemukan nama Misaki Murakami. Pasangan ini tertarik untuk menelusuri siapa gerangan Misaki Murakami. Dan setelah ditelusuri sejak sebulan lalu, akhirnya mereka menemukan alamat Murakami melalui bantuan reporter di Jepang. Mereka kemudian menghubungi si pemilik bola via telepon. Pasangan ini berjanji akan segera mengirimkan bola itu. "Saya tak menduga bola itu sampai Alaska. Saya senang sekali bisa mendapatkan bola itu lagi," kata Murakami.
bolajepang
David-Yumi dan Murakami (Foto: AP)
Pasangan Baxter-Yumi juga menemukan bola voli yang tertera atas nama Shiori Sato, 19, dari Iwate. Shiori yang tahu bolanya ditemukan di Alaska mengaku terkejut. "Saya akan mengatakan ‘Selamat datang kembali' pada bola itu," katanya, seperti dikutip NHK.
Warga Alaska memang sedang menghadapi sampah-sampah tsunami Jepang yang terbawa arus sepanjang 5000-an km. Selain bola, beberapa hari lalu ditemukan juga sebuah kapal hantu (tanpa penumpang) di Alaska. Masih banyak sampah-sampah lain di Alaska yang mungkin di dalamnya tersisa banyak harta berharga baik secara materi maupun memori.


Bagikan ke teman Anda, Share & Be Happy!
www.andriewongso.com