Thursday, May 3, 2012

Krisis Teladan: Berkaca pada Jokowi dan Dahlan Iskan


Saat ini ada dua sosok yang tengah diperbincangkan di tengah-tengah masyarakat. Wajahnya menghiasi halaman media baik cetak maupun elektronik. Kedua sosok ini digadang-gadang menjadi pemimpin. Yang satu dalam sekup nasional, satunya lagi lingkup regional. Mereka adalah Dahlan Iskan yang kini menjabat sebagai menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) satunya lagi Joko Widodo, walikota Solo.
Di dunia maya, nama Dahlan Iskan dan Joko Widodo atau disingkat Jokowi menjadi topik ramai didiskusikan. Salah satunya, di situs www.kompasiana.com. Mengetik Dahlan Iskan di mesin pencari situs tersebut, maka akan muncul 5.350 atau ulasan tentang mantan bos Jawa Pos itu. Begitu juga dengan Jokowi. Sebagian besar tema yang ditulis adalah kekaguman mereka terhadap kedua sosok itu.
Bahkan Dahlan Iskan diwacanakan menjadi ketua Umum Partai Demokrat, sebagai pengganti Anas Urbaningrum seandainya Anas yang kini menjadi ketua umum menjadi tersangka dalam kasusnya wisma atlet (Detik Sore, 6/2/12). Padahal dia bukan anggota partai politik berlambang bintang merci. Tak hanya itu, nama Dahlan Iskan juga sudah disebut-sebut sebagai calon presiden. Empat partai politik besar seperti Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS dan PAN tengah menyebut-nyebut sebagai calon presiden (www.pikiran-rakyat.com, 30/12/11 ).
Hal serupa juga Jokowi. Penyuka musik cadas ini sangat dicintai masyarakatnya. Saking fanatiknya, ketika ada wacana akan dicalonkan menjadi gubernur DKI Jakarta, ada warga Solo menggelar aksi agar Jokowi tetap di Solo (Warta Jateng, 12/12/11). Dalam pemilihan kepala daerah yang kedua kalinya, Jokowi meraih suara mayoritas atau 90 persen dibanding pesaing-pesaing politiknya.
Lalu mengapa mereka ini begitu diharapkan dan dikagumi oleh masyarakatnya? Pada kedua sosok ini memiliki kesamaan. Menjadi panutan atau tauladan ditengah glamor dan hedonisnya sikap dan gaya hidup para pejabat pemerintah baik yang duduk di eksekutif maupun legislatif dari pusat hingga daerah.
Bayangkan saja, belum lama ini publik dikejutkan dengan harga kursi mewah untuk anggota legislatif. Setiap unit harganya sangat fantastis, Rp 24 juta. Begitu juga dengan perbaikan toilet saja yang menelan Rp 2 miliar. Yang lebih fantastis lagi, rencana pembangunan gedung baru yang berfasilitas hotel berbintang lima seperti spa, kolam renang dan kemewahan lainnya yang menelan biaya Rp 1,138 triliun (www.media-indonesia.com, 4/1/12). Namun akhirnya rencana tersebut batal atas derasnya desakan publik.
Belum lagi, memiliki mental memamerkan kekayaan pribadi. Salah seorang yang baru menjabat namun sudah memiliki kekayaan yang melimpah, kendaraan mewah. Yang lebih parahnya lagi adalah sikap korup. Tak sedikit uang rakyat yang digaruk oleh mereka. Kasus wisma atlet adalah satu satu kasus korupsi dari kasus-kasus korupsi lain di negeri ini. Sejumlah politisi dan pejabat pemerintah baik yang ada di pusat maupun di daerah harus berujung di balik jeruji besi karena tersandung kasus korupsi.
Ada pun sosok Dahlan Iskan dan Jokowi memilih kesederhanaan dan memberikan tauladan. Meski keduanya merupakan sama-sama pejabat publik dan kaya. Betapa tidak, berdasarkan laporan harta kekayaan penyelenggaraan negara (LHPN) di Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana ditulis dalam kompas.com (17/10/11) menyebutkan bahwa Dahlan Iskan memiliki harta lebih dari Rp 48 miliar. Harta kekayaannya jauh melebihi kekayaan Presiden SBY yang hanya Rp 7 miliar berdasarkan LHPN tahun 2010. Sedangkan harta kekayaan Joko Widodo berdasarkan laporan LHPN tahun 2010 Rp 17,46 miliar (Tabloid Politic, edisi kelima).
Kesederhanaan itu dilakukan dalam menjalankan amanah yang kini sedang diembannya. Dahlan Iskan naik kereta api kelas ekonomi saat hendak menghadiri rapat bersama SBY di Bogor. Ia juga naik ojek serta sebelumnya makan soto bareng. Dahlan Iskan pernah menyebut bahwa aksi tersebut dilakukan bukan untuk sok sederhana (Dahlan Iskan, 2011), namun dengan begitu mendapatkan sambutan dari masyarakat.
Saat menjabat sebagai Dirut PLN, ia juga menolak rumah dinas. Dia lebih memilih membeli rumah sendiri di Jakarta dengan biaya sendiri demi kelancaran dalam menjalankan tugasnya. Setiap hari, berangkat ke kantornya dengan berjalan kaki.
Kesederhanaan juga ditampilkan oleh Jokowi. Dia lebih memilih menggunakan mobil dinas bekas wali kota sebelumnya daripada harus mengganti mobil baru. Saat diganti pun, pengusaha mebel dan taman itu lebih memilih mobil Kiat Esemka, buatan dalam negeri yang harganya hanya Rp 94 juta. Dia juga telah berhasil mempopulerkan atau mengkampanyekan produk dalam negeri ditengah gempuran mobil-mobil mewah buatan impor yang harganya mencapai ratusan juta bahkan miliaran rupiah. Jokowi juga tidak mengambil gajinya selama ia menjabat sebagai wali kota.
Sebetulnya, keteladan dan kesederhanaan bukan kata yang baru di negeri ini. Kata tersebut sering didengar baik dalam pengajian, di pelajaran sekolah maupun dalam acara-acara seminar maupun ceramah-ceramah umum. Namun sayang, kata tersebut oleh hanya sekedar angin lalu.
Di sekolah, diajarkan dengan semboyan Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan nasional, memberikan tiga falasfah pendidikan. Salah satunya adalah ing ngarsa sung tulada yang artinya di depan, seorang pemimpin harus memberikan contoh atau teladan.
Dalam ajaran agama, khususnya Islam, Rasulullah memberikan tauladan kepada umatnya. Dalam surat Al Ahzab ayat 21 yang berbunyi,” Sungguh pada diri Rasulullah itu, kamu dapatkan sauri teladan bagi orang-orang yang mengharapkan ridha Allah, hari kemudian dan bagi yang mengingatnya.” Kunci utama keteladanan rasulullah adalah, beliau menyuruh kepada orang lain, beliau telah memberikan contoh terlebih dahulu.
www.kompasiana.com

No comments:

Post a Comment